Makalah Sejarah Pendidikan Islam Klasik
Masa Bani Umayyah
BAB I
PENDAHULUAN
Memasuki
masa kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal pemerintahan Bani Umayyah ini, pemerintahan yang awalnya
bersifat Demokrasi menjadi Monarciheridetis(kerajaan turun menurun).[1] Mengenai
pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan
pendidikan pada masa Khulafa Ar-Rasyiddin. Hanya saja ketika ekspansi yang di
lakukan berhasil meluas, tentang ilmu Pendidikan pun ikut berkembang dari pada
masa Khulafa’ur Rasyidin.
Secara esensial, pendidikan islam pada
masa dinasti umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa khulafa’
Ar-Rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Disamping
melakukan ekspansi territorial, pemerintahan dinasti bani Umayyah juga menaruh
perhatian dalam bidang pendidikan. Memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia
pendidikan dengan menyediakan sarana dan
pra sarana. Hal ini di lakukan agar para ilmuwan , seniman, dan para ulama mau
melakukan pengembangan bidang ilmu yang di kuasainya serta mampu melakukan
kaderisasi ilmu. Di antara ilmu yang berkembang sekarang ini adalah:
1.
Ilmu Agama
2.
Ilmu sejarah dan geografi
3.
Ilmu pengetahuan bidang bahasa
4.
Ilmu bidang filsafat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat Tentang Dinasti Bani Umayyah [41-132 H/661-750]
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyah
yang menjadi awal pemerintahan Bani
Umayyah ini, pemerintahan yang awalnya bersifat Demokrasi menjadi
Monarciheridetis(kerajaan turun menurun). Namun, sesungguhnya Sejarah
pembentukan dinasti Umayyah bermula pada era dualisme kepemimpinan di dunia
Islam pasca wafatnya Khalifah ‘Alî ra. tanggal 17 Ramadlan tahun 40 H / 660 M.
Dinamakan dualisme, karena pada satu pihak Mu’âwiyah ra. dibai’at sebagai
khalifah oleh penduduk Syâm, sementara al-Hasan ibn ‘Alî ra. juga dinobatkan
sebagai khalifah oleh sebagian sahabat dan penduduk Kufah pada tanggal 25
Ramadlan 40 H.
Melihat gelagat yang tidak baik,
al-Hasan, segera berdamai dengan Mu’âwiyah, Karakter al-Hasan memang sangat
benci pertumpahan darah sesama muslim, sehingga secara prinsipil ia memandang
bahwa kemaslahatan itu terletak pada kesatuan dan meninggalkan pertempuran.
Menurut Ahmad Syalabi, mundurnya al-Hasan disertai syarat agar jabatan khalifah
sepeninggalnya nanti diputuskan berdasarkan musyawarah di antara sesama kaum
Muslimin. Akan tetapi, tampaknya Mu’awiyah ra. menganggap batal syarat itu
dengan meninggalnya al-Hasan ra. terlebih dahulu di sekitar tahun 47-51 H.
Bahkan, secara sepihak ia menobatkan anaknya sendiri sebagai calon pengganti
khalifah sepeninggal dirinya nanti.
Peradaban semakin
berkembang saat ini namun Kemudian, sepeninggal ‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz sebagai
Khalifah terakhir, Dinasti Umayah kembali mengalami degradasi moral dan
politik, sehingga berakhir dengan penggulingan kekuasaan oleh Dinasti
Abbasiyyah yang didukung oleh militer Khurasan dan propaganda Syi’ah.[2]
B.
Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
Nampaknya
pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan
pendidikan pada masa Khulafa Ar-Rasyiddin. Para Khulafa agaknya kurang
memperhatikan bidang pendidikan, sehingga perkembangannya pun kurang maksimal.
Meskipun demikian, Dalam bidang ini, dinasti Umayyah memberikan andil yang
cukup signifikan bagi perkembangan budaya Arab
pada masa sesudahnya, terutama dalam pengembangan ilmu-ilmu agama Islam, sastra, dan
filsafat.
Bila dibandingkan dengan masa
Khulafa Ar-Rasyidin, pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah
mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di
tempat-tempat yang telah disediakan untuk kegiatan tersebut. Materi yang
diajarkan bertingkat- tingkat dan bermacam-macam, dimana kurikulumnya telah
disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing. Metode pengajarannya pun tidak
sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuwan dalam berbagai bidang
tertentu. [3]
Jadi disamping melakukan ekspansi
territorial, pemerintahan dinasti bani Umayyah juga menaruh perhatian dalam
bidang pendidikan. Memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan menyediakan sarana dan pra sarana. Hal
ini di lakukan agar para ilmuwan, seniman, dan para ulama mau melakukan pengembangan
bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu. Di antara
ilmu yang berkembang sekarang ini adalah:
5.
Ilmu Agama
6.
Ilmu sejarah dan geografi
7.
Ilmu pengetahuan bidang bahasa
8.
Ilmu bidang filsafat
Khalifah Al-Walid mendirikan
sekolah kedokteran, ia melarang para penderita kusta meminta-minta di jalan
bahkan khalifah menyediakan dana khusus bagi para penderita kusta. Pada zaman
ini sudah ada jaminan sosial bagi
anak-anak yatim dan anak terlantar.[4]
Karena
kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan,
di dunia pendidikan, terutama di
dunia sastra, sangat rentan dengan identitasnya masing-masing. Sastra Arab,
baik dalam bidang syair, pidato (khitobah), dan seni prosa, mulai menunjukkan
kebangkitanya. Para raja mempersiapkan tempat balai-balai pertemuan penuh
hiasan yang indah dan hanya dapat di masuki oleh kalangan sastrawan dan
ulama-ulama terkemuka. Menurut Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi:
“Balai-balai
pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan; seorang
yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis, bersih, rapi,
duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak dan tidak
meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali ditanyai. Ia tidak boleh
bersuara keras dan harus menjadi pendengar yang baik, sebagaimana dia harus
belajar bertukar kata dengan sopan dan memberi kesempatan kepada si
pembicara menjelaskan pembicaraannya,
serta menghindari penggunaan kata-kata
yang kasar dan gelak tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan
seperti ini, disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan,
didiskusikan,dan diperdebatkan”.
Pada zaman ini, juga
dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu yang mempunyai
kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, ilmu tatalaksana, dan
seni bangunan. Pada umumnya, gerakan penerjemahan ini terbatas kepada
orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara
dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal, orang yang pertama kali
melakukan penerjemahan ini adalah Khallid ibn Yazid, cucu dari Muawiyyah.
Selain
beberapa materi diatas, pada masa ini juga tampaknya masih melanggengkan
ilmu-ilmu yang diletakkan pada masa sebelumnya, seperti ilmu tafsir. Ilmu
tafsir ini semakin menjadi niscaya dan memiliki makna yang strategis. Di
samping karena faktor luasnya kawasan Islam
ke beberapa daerah luar Arab yang
membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra arab, juga karena banyak orang
yang masuk Islam. Hal ini mengakibatkan pencemaran bahasa Al-Qur’an dan
pemaknaan Al-Qur’an yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.
Pencemaran Al-Qur’an juga disebabkan oleh faktor interpretasi yang didasarkan
pada kisah-kisah Israiliyat dan Nasraniyat.
Bersamaan
dengan itu, kemajuan yang diraih dalam dunia pendidikan pada saat itu adalah
dikembangkannya ilmu nahwu yang digunakan untuk memberikan tanda baca,
pencatatan kaidah-kaidah bahasa, dan periwayatan bahasa. Sungguhpun terjadi
perbedaan mengenai penyusun ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmu ini menjadi cirri
kemajuan tersendiri pada masa ini.
Selain
disiplin ilmu tafsir pada masa ini juga, hadits dan ilmu hadits mendapat
perhatian secara serius. Pentingnya periwayatan hadits sehingga dapat
dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral mendapat perhatian
luas. Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah untuk mencari hadits, belum
mencapai tahap kodifikasi. Khalifah Umar ibn Abd Al-Aziz yang memerintah hanya
dua tahun, yakni tahun 99-101 H/717-720 M, pernah mengirim surat pada Abu Bakar
ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama yang lain untuk menuliskan
dan mengumpulkan hadits-hadits. Namun, hingga dengan masa akhir
kepemerintahannya, hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian, perintah Umar ibn Al-Aziz telah
melahirkan metode pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadits ke
berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal
dengan metode rihlah.[5]
Dibidang
hukum fiqih, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
aliran ahli al-ra’y dan aliran al-hadits. Kelompok aliran pertama mengembangkan
hukum Islam
dengan menggunakan analogi bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya.
Aliran ini berkembang di Irak yang
dimotori oleh Syuri’ah ibn Al-Harits (w.78
H/697 M), Alqamah ibn Qa’is(w.62 H/681 M), masruq
al-Ajda’,
al-Aswad ibn yazid, yang kemudian diikuti oleh Ibrahim al-Nakhai, dan Amr ibn Syurahbil al-Sya’by.
Sesudah itu digantikan oleh Hammad ibn Abu Sulaiman, yang kemudian menjadi guru
Abu Hanifah.
Aliran
kedua, ahl al- hadits, lebih berpegang
pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa
jika tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadits yang menerangkannya. Diantara pelopor
aliran ini adalah ibn Syihab al-Zuhri(w.124 H/741 M) dan Nafi’ Maula Abdullah
ibn Umar(w.117 H/735 M) yang keduanya merupakan guru imam malik ibn Annas(w.117
H/735 M).[6]
C.
Bentuk Pendidikan Dan Pusat Pendidikan
Periode dinasti Umayyah ini merupakan masa inkubasi. Pada masa ini
peletakan dasar-dasar dari kemajuan
pendidikan di munculkan. Jadi intelektual muslim berkembang saat ini. Pola
pendidikan saat ini di sentralisasi, tidak memiliki
tingkatan dan standart umum. Kajian keilmuan yang ada pada periode ini berpusat
di Damaskus, Kuffah, Makkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya.
Dan ilmu-ilmu yang dikembangkan ialah seperti kedokteran, filsafat, astronomi,
sastra, dan kesenian. Jadi pada pemerintahan ini pendidikan tidak hanya
berpusat di madinah, seperti pada masa Rasull dan para sahabat (Khulafa’ur
Ar-rasyidin) melainkan ilmu telah mengalami ekspansi seiring dengan ekspansi Teritorial.[7]
Usaha untuk mencari dan
menghafal hadis lebih digalakkan lagi, sehingga di beberapa daerah kekuasaan
Islam telah didirikan perguruan untuk mengajarkan Alquran dan hadis Nabi saw.
Bentuk kelembagaan pendidikan Islam kala itu sebenarnya masih meneruskan
bentuk-bentuk yang dikenal sebelumnya, yaitu kuttab dan halaqah. Sedangkan
lembaga pendidikan yang relatif baru kala itu adalah majelis sastra dan
pendidikan privat di istana. Adapun madrasah belum dikenal dalam pengertian
sekarang, meskipun sering ditemukan istilah madrasah tafsir atau madrasah
tasawuf. [8]
Di bawah ini akan di jelaskan tentang bentuk pendidikan:
a.
Kuttab
Kuttab secara kebahasaan
berarti tempat belajar menulis. Istilah sejenisnya adalah maktab. Di dalam
sejarah pendidikan Islam, kuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan
membaca, menghafal Alquran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Adapun cara
yang dilakukan oleh pendidik, di samping mengajarkan Al Quran
mereka juga mengajar menulis dan tata bahasa serta tulisan. Perhatian mereka
bukan tertumpu mengajarkan Alquran semata dengan mengabaikan pelajaran yang
lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat. Menurut
Zuhairini, Al-Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian
dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari. Di samping belajar
menulis dan membaca, murid-murid juga mempelajari tatabahasa Arab,
cerita-cerita Nabi, hadis dan pokok agama.
b.
Halaqah (mesjid)
Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan
tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah Kuttab. Materi
pendidikannya meliputi Al-Quran, tafsir,
hadis dan fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu
hitung dan ilmu perbintangan (astronomi). Di antara jasa besar pada periode
Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid
sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir, sejarah bangsa terdahulu,
diskusi dan pembahasan akidah.
Pada Dinasti Umayyah
ini, masjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu:
Tingkat
menengah misalnya:
a.
Al-Qur’an dan tafsirnya
b.
Hadits dan pengumpulannya
c.
Fiqh
Tingkat
tinggi misalnya:
a.
Tafsir Al-Qur’an
b.
Hadits
c.
Fiqih dan ushul fiqih
d.
Nahwu sharaf
e.
Balaghah
f.
Bahasa dan saatranya
Hal ini misalnya dapat dilihat pada
halaqah-halaqah di Mesjid Nabawi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama
besar. Hal ini misalnya dapat dilihat pada halaqah-halaqah kecil pada paroh
akhir abad I H di Mesjid Nabawi. Sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah
ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya, seperti Hasan
al-Bashri dengan halaqah besarnya di Mesjid Bashrah, atau Sa’id ibn al-Musayyab
di Mesjid Nabawi.[9]
c.
Pendidikan Di Istana
Pendidikan anak di
istana berbeda dengan pendidikan anak –
anak di kuttab pada umumnya. Di istana orang tua murid (para pembesar di
istana) adalah yang membuat rencana pelajaran dan tujuan yang di kehendaki oleh
orang tuanya. Guru yang mengajar di istana itu di sebut mu’addib. Kata mu’addib
berasal dari kata adab, yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan.[10]
Rencana pelajaran
untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana
pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak
para pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan
anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan
dihadapinya dalam kehidupannya nanti.
Pendidikan di
istana, tidak hanya pengajaran tingkat
rendah, tetapi lanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah, masjid
dan madrasah. Guru istana dinamakan dengan muaddib. Tujuan pendidikan istana
bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan, bahkan muaddib harus mendidik
kecerdasan, hati dan jasmani anak sebagaimana ungkapan Abdul Malik ibn Marwan
sebagai berikut: “Ajarkan kepada anak- anak itu berkata benar sebagaimana kau
ajarkan Al-Qur’an. Jauhkan anak-anak itu dari pergaulan orang-orang buruk budi,
karena mereka amat jahat dan kurang adab. Jauhkan anak-anak itu dari pemalu
karena pemalu itu merusak mereka. Gunting rambut mereka supaya tebal kuduknya.
Beri makan mereka dengan daging supaya kuat tubuhnya. Ajarkan syair kepada
mereka supaya mereka menjadi orang besar dan berani. Suruh mereka menyikat gigi
dan minum air dengan menghirup perlahan-lahan bukan dengan bersuara,(seperti
hewan). Kalau engkau hendak mengajarkan adab kepada mereka hendaklah dengan
tertutup tiada di ketahui oleh seorang pun.”
d.
Nasihat Pembesar Kepada Muaddib.
Sebagaimana
pembesar Hisyam ibn Abdul Malik kepada guru anaknya Sulaiman al-Khalby: . “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya
matamu. Aku serahkan kepada engkau untuk memberi adab kepadanya. Maka, tugas
engkau adalah bertakwa kepada Allah dan menunaikan amanah. Wasiatku yang
pertama kepada engkau supaya engkau ajarkan kepadanya kitabulah. Kemudian
engkau riwayatkan kepadanya syair – syair yang baik. Sesudah itu engkau ajarkan
riwayat kaum Arab dan syair mereka yang baik. Perlihatkan kepadanya sebagian
yang halal dan yang haram serta pidato pidato dan riwayat peperangan”.
e.
Badiah
Dengan adannya
Arabisasi oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan, maka muncullah istilah badiah.
Akibat dari Arabisasi ini muncullah ilmu Qawa’id dan cabang ilmu lainnya untuk
mempelajari bahasa Arab. Bahasa Arab
ini sudah sampai ke Irak, Syiria,
Mesir, dll. Sehingga banyak Khalifah mengirim anaknya ke Badiah untuk belajar
bahasa arab di antaranya: Al-Khalil ibn Ahmad.
f.
Perpustakaan
Al-Hakam ibn Nasir
mendirikan perpustakaan besar di kurtubah (Cordova)
g. Baramisthan (Rumah Sakit)
D.
Segi Tujuan Pendidikan (Aspek Aksiologis)
Dari segi tujuan,
pendidikan Islam di masa Bani Umayah dapat dikatakan masih merupakan kelanjutan
dari masa khulafa al-Rasyidin, yang sebagaimana dikatakan oleh Samsul Nizar,
secara ideal dan global tujuan pendidikan Islam yang berkembang kala itu masih
relatif seragam, yaitu bertujuan sebagai wujud pengabdian baik secara vertikal
kepada Allah swt maupun secara horisontal kepada manusia dan alam. Adapun
secara khusus (praktis-pragmatis), tujuan pendidikan di masa itu tergantung
jenjang pendidikan yang ditempuh, yaitu:
a.
Pada jenjang kuttab, tujuan pendidikan adalah untuk memenuhi
kebutuhan keilmuan dasar agama dan keilmuan serta kecakapan hidup sehari-hari
seperti membaca, menulis, dan berhitung.
b.
Pendidikan privat istana juga memiliki tujuan seperti kuttab, hanya
saja pendidikan istana juga menekankan pada penguasaan bahasa Arab yang fasih.
c.
Pada jenjang halaqah, karena kebanyakan yang diajarkan adalah
ilmu-ilmu syar’i, maka pendidikan bertujuan untuk mendalami masalah-masalah
agama yang bersifat praktis bagi kehidupan sehari-hari.
d.
Pada bentuk majelis sastra, pendidikan secara umum bertujuan untuk
mendalami masalah-masalah di bidang sastra dan sejarah, di samping untuk
mengevaluasi wacana-wacana keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
E.
Metode-Metode Pembelajaran
1.
Demonstrasi
2.
Rihlah
3.
Diskusi
4.
Halaqoh
F.
Tokoh-Tokoh Pada Masa Bani Umayyah
Tokoh-tokoh pendidikan pada masa
Bani Umayyah terdiri dari ulama-ulama yang menguasai bidangnya masing-masing
seperti dalam bidang tafsir, hadist, dan Fiqh. Selain para ulama juga ada ahli
bahasa/sastra.
1.
Ulama-ulama tabi’in ahli tafsir, yaitu: Mujahid, ‘Athak bin Abu
Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah. Pada masa
tabi’in tafsir Al-Qur’an bertambah luas dengan memasukkan Israiliyat dan
Nasraniyat, karena banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani memeluk agama Islam.
Di antara mereka yang termasyhur: Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah
bin Salam, Ibnu Juraij
2.
Ulama-ulama Hadist yaitu: Abu Hurairah, ‘Aisyah, Abdullah bin Umar,
Abdullah bin Abbas ,Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik. Kitab bacaan
satu-satunya ialah al-Qur’an. Sedangkan hadis-hadis belumlah dibukukan.
Hadis-hadis hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Dari mulut guru ke mulut
muridnya, yaitu dari hafalan guru diberikannya kepada murid, sehingga menjdi
hafalan murid pula dan begitulah seterusnya. Setengah sahabat dan
pelajar-pelajar ada yang mencatat hadist-hadist itu dalam buku catatannya,
tetapi belumlah berupa buku menurut istillah kita sekarang. [11]
3.
Ahli bahasa/sastra: Seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya
tulisnya Al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal berbahasa arab. Sejalan dengan
itu, perhatian pada syair Arab jahiliahpun muncul kembali sehingga bidang
sastra arab mengalami kemajuan. Di zaman ini muncul penyair-penyair seperti
Umar bin Abu Rabiah ,Jamil al-uzri ,Qys bin Mulawwah ,yang dikenal dengan nama
Laila Majnun, Al-Farazdaq, Jarir, dan Al akhtal.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyah
yang menjadi awal pemerintahan Bani
Umayyah ini, pemerintahan yang awalnya bersifat Demokrasi menjadi
Monarciheridetis(kerajaan turun menurun). Namun, sesungguhnya Sejarah
pembentukan dinasti Umayyah bermula pada era dualisme kepemimpinan di dunia
Islam pasca wafatnya Khalifah ‘Alî ra. tanggal 17 Ramadlan tahun 40 H / 660 M.
Dinamakan dualisme, karena pada satu pihak Mu’âwiyah ra. dibai’at sebagai
khalifah oleh penduduk Syâm, sementara al-Hasan ibn ‘Alî ra. juga dinobatkan
sebagai khalifah oleh sebagian sahabat dan penduduk Kufah pada tanggal 25
Ramadlan 40 H.
disamping melakukan ekspansi
territorial, pemerintahan dinasti bani Umayyah juga menaruh perhatian dalam
bidang pendidikan. Memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan menyediakan sarana dan pra sarana. Hal
ini di lakukan agar para ilmuwan , seniman, dan para ulama mau melakukan
pengembangan bidang ilmu yang di kuasainya serta mampu melakukan kaderisasi
ilmu. Di antara ilmu yang berkembang sekarang ini adalah:
1.
Ilmu Agama
2.
Ilmu sejarah dan geografi
3.
Ilmu pengetahuan bidang bahasa
4.
Ilmu bidang filsafat
Kemudian
tentang bentuk pendidikannya:
·
Kuttab
·
Halaqah
·
Pendidikan istana
·
Nasihat Pembesar Kepada Muadlib
·
Badiah
·
Perpustakaan
DAFTAR
PUSTAKA
http://banjarhulu.wordpress.com/2012/04/25/potret-pendidikan-islam-di-masa- pemerintahan-bani-umayyah/.
Nizar,Samsyul. Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2008)
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam
(Jakarta: Rajawali Press, 2010)
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981)
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2010)